Sepak Bola Indonesia mengalami masa kritis. turunya rezim Nurdin Halid dan jajaranya, ternyata tidak membuat permasalahan selesai sampai disitu. Perebutan kursi Ketua Umum PSSI telah menjadi incaran sejumlah orang yang beretorika membenahi sistem di PSSI. Namun, dalih tersebut, justru membuat kebalikanya sendiri, kekisruhan semakin memanas di tubuh PSSI.
Kongres pada 20 Mei, menjadi momentum kencangnya perebutan kursi ketua umum PSSI. Kongres yang harus ditutup oleh Agum Gumelar, selaku ketua Komite Normalisasi (KN) yang merupakan bentukan FIFA, menimbulkan kegaduhan dan interupsi dari sejumlah orang, termasuk kelompok 78.
Padahal, kongres ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan ditubuh PSSI. Ini mengindikasikan, adanya kepentingan kelompok masing-masing dibalik retorika dalam membenahi sistem di PSSI.
Kalau saja pihak yang bertikai menyadari,.biar bagaimana pun yang berperan penting dalam sepak bola adalah pemain. Namun yang terjadi, para calon Ketua Umum PSSI ini, justru membiarkan para pemain hancur semangatnya karena isu turunya sanksi dari FIFA kepada PSSI. Padahal turunya sanksi FIFA, membuat malu Indonesia selaku tuan rumah karena tidak bisa mengikuti SEA games. Namun, kata malu mungkin tidak bisa menyadari para pemilik kepentingan golongan ini.
Kenyataanya, para pengincar kekuasaan tetap bersikukuh mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PSSI. Tidak peduli bagaimana nasib para pemain dan pandangan masyarakat tentang olah raga yang dapat mempersatukan bangsa ini. Bahkan, pandangan dunia Internasional, tetap membutakan mereka dalam mencapai kepentingan yang telah masuk kedalam relung jiwa mereka.
Mungkin rasa persatuan dan keutuhan bangsa, pada hati perebut kursi Ketua Umum PSSI, telah meleleh dalam kepentingan golongan sehingga makna membangun telah berganti menjadi ambisus. Itukah PSSI, atau itukah mereka yang berkeinginan membuat PSSI sebagai mesin pencetak kepentingan golongan.
(Dimuat di Surat Kabar Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar