20 Juni 2011

Antara TV dan anak

TV bagi sebagian orang adalah media yang menjadi patokan dalam melihat dunia. Dengan TV, seseorang dapat melihat perkembangan dunia, baik fashion, peristiwa bersejarah, musik, dan semacamnya. Namun, tanpa disadari, tidak semua pesan yang diberikan TV adalah baik dan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku. Cukup banyak tayangan-tayangan TV yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dinegeri kita. Misalkan saja, tayangan film yang berbau porno, klip musik yang menampilkan keelokan tubuh perempuan, tayangan kekerasan, acara gosip yang berlebihan dan semacamnya. Hal ini tentu membuat efek yang tidak baik bagi psikologi pemirsanya, terutama bagi anak kecil yang selalu menyerap sesuatu atas apa yang dilihatnya.

Baik atau tidaknya masyarakat, ditentukan oleh media pada negeri itu. Lalu mari kita lihat, bagaimanakah masyarakat kita dan media Tv kita, apakah diantara keduanya telah mencerminkan kalimat diatas. Jika tidak, harus dimulai dari mana perubahan tersebut dan apakah bisa merubahnya? Masyarakat yang berpatokan terhadap media TV, juga menggantungkan persepsinya dari media TV. Ini juga disebabkan, lemahnya pendidikan yang dimiliki masyarakat kita hingga akhirnya pesan yang disampaikan kepada pemirsa, langsung diserap tanpa dikritisi.

Tidak heran, banyak pemirsa yang melakukan sesuatu karena terpengaruh pesan yang disampaikan media Tv, contohnya saja masalah fashion. Banyak anak muda yang terpengaruh fashion karena artis yang terpampang di Tv mengenakan suatu baju atau aksesoris. Akhirnya menjadi ikon dan trendsetter, lalu diikuti masyarakat sehingga banyak yang menggunakan atau meniru fashion artis tersebut. Bahkan terkadang tidak melihat baik atau buruknya fashion tersebut. Meski tidak sesuai norma yang ada, bila fashion tersebut telah menjadi trend, masyarakat kita berani menerobos nilai-nilai tersebut, Alhasil, terjadi pergeseran moral dimasyarakat kita.

Teori Agenda Setting yang dianut media TV, bertujuan untuk menciptakan opini publik terhadap pemberitaan suatu media sehingga pemirsa digiring kepada suatu perilaku. Padahal, media TV harus berpihak kepada masyarakat tidak kepada kepentingan owner atau kepentingan golongan dengan menggiring persepsi. Idelanya, media bersikap netral dan menayangkan sesuatu apa adanya tanpa berlebihan, terutama sebagai mesin politik, sebaiknya media Tv hanya memberitakan apa adanya, tidak menggiring kepada opini publik karena akan membentuk perilaku yang diinginkan media Tv itu sendiri. Frekuensi adalah milik masyarakat, sudah sepantasnya media TV tidak menggunakan hal tersebut dengan semena-mena dan menayangkan program-program yang melenceng dari nilai-nilai dan moral yang ada.

Kalau kita telaah, sudah berapa kali, sebuah tayangan dibredel dan diberhentikan karena telah melenceng dari kaidah-kaidah penyiaran. Namun, yang terjadi sekarang ini, dengan mudahnya program tersebut diganti namanya saja dan tetap memiliki konten yang sama dan kembali tayang. Setelah itu bisa belengga-lenggo santai tanpa merasa bersalah. Ironinya, program tersebut tetap menganut paham yang sama ketika dbredel. Tentu saja lagi-lagi masyarakat yang dirugikan, bayangkan masyarakat kita yang memiliki tingkat pendidikan rendah diterpa pesan media Tv yang memiliki tujuan tertentu. Alhasil, masyarakat akan menjadi komoditas kepentingan untuk mencari kekayaan.

Salah satu fungsi media massa adalah memberikan pendidikan. Dalam hal ini, media memiliki tugas untuk mencerdaskan masyarakat. Namun, yang terjadi justru kepentingan uang yang didahulukan, banyaknya iklan diprioritaskan daripada memberikan pendidikan yang baik untuk masyarakat, menjadikan gambaran betapa mudahnya masyarakat dipermainkan untuk tujuan mencari uang dengan cara membuat program-program yang memiliki rating tinggi sehingga iklan mengantri masuk.

Padahal, Tv memiliki peranan yang sangat penting dan cukup berpengaruh dalam mengubah perilaku pemirsanya. Tentu tanpa kepentingan lain dibalik mencerdaskan masyarakat.

Lemahnya pengawasan dan tidak ada instansi yang kuat dalam menyikapi laporan terhadap media Tv yang tidak sesuai kadiah penyiaran, memberikan peluang bebas kepada media Tv untuk tetap menyiarkan program yang lebih mengedepankan acara menarik dan mendatangkan uang banyak dari pada menganut paham idealis.

Hari tanpa Tv, muncul bukan sebagai kumpulan masyarakat yang anti TV, tapi lebih kepada merupakan wujud nyata sikap kritis terhadap tayangan Tv yang tidak bermutu, membodohi, dan tayangan yang tidak aman dan tidak sehat untuk anak. Fokusnya pada perlindungan anak dan kepentingan terbaik anak.

Karena anak sangat mudah dipengaruhi, terlebih mereka menyerap pesan tanpa mengkritisi karena memang psikologi yang dimiliki seperti itu. Lalu bayangkan ketika anak disuguhkan tayangan kekerasan. Akhirnya Ada seorang anak yang tewas oleh temanya sendiri karena mengikuti adegan Smack Down yang disajikan di media Tv. Ini membuktikan betapa kuatnya pesan media Tv dalam memengaruhi sikap dan perilaku anak. Tapi, hal itu tetap tidak meyadarkan para media Tv dalam memberikan pendidikan kepada anak.

Hari tanpa Tv juga menyadarkan kepada masyarakat, terutama keluarga bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika banyak kegiatan lain dapat dilakukan ketimbang menonton TV. Pengalaman seperti ini penting dimiliki anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa hidup tetap menyenangkan tanpa harus tergantung pada Tv

Tidak bisa dipungkiri, acara televisi yang tayang saat ini masih banyak berisi muatan yang merugikan anak.
Hari Tanpa TV juga merupakan wujud kepedulian dan simbol perubahan yang kita harapkan dari semua pihak. Stasiun TV kita harapkan memiliki kesadaran untuk menyediakan tayangan yang aman bagi anak.
Sosialisasi kepada orang tua untuk mendampingi anaknya ketika menonton pun penting, guna mengawasi dalam konsumsi media yang sesuai dan mendidik. Yuk, kita isi kegiatan lain yang bernilai positif ketika kita matikan Tv.

Tidak ada komentar: