28 Juni 2011

Sediakan Lapangan Pekerjaan

HUKUMAN mati terhadap Ruyati di Arab Saudi, tentu menjadi luka mendalam bagi keluarganya. Hal ini, juga merupakan tamparan keras bagi pemerintah karena ketidaktahuan pemerintah ketika hukuman tersebut telah dilaksanakan. Ini menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada warga negara kita yang menjadi TKI di negeri orang.

Namun, Ruyati bukanlah TKI satu-satunya yang dihukum mati, sebelum Ruyati, cukup banyak TKI kita yang telah dihukum mati di Arab Saudi. Bahkan, sekarang ini, masih ada 23 TKI kita yang siap dieksekusi mati oleh algojo Arab Saudi. Tentu komentar, kritik keras, dan pedas pun sampai kepada pemerintah selaku yang berwenang dalam hal tersebut.

Menanggapi komentar dan kritik yang menggelontor kepada pemerintah. Bergiliran, Menteri Marty Natalegawa, Menteri Patrialis Akbar, dan Menteri Muhaimin Iskandar "membela diri", ketika melakukan konferensi pers di Istana Kepresidenan, pada Kamis (23/6) pagi, mereka menyebut sejumlah upaya yang telah mereka lakukan terkait kasus Ruyati maupun terkait TKI di luar negeri.

Kasus kekerasan dan hukuman mati kepada TKI kita sepertinya akan menjadi daftar panjang untuk diselesiakan oleh pemerintah. Namun, daripada memikirkan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan TKI seperti itu.

Sebaiknya, pemerintah berupaya menciptakan lapangan pekerjaan di berbagai sektor di berbagai daerah. Bila perlu, Presiden memberikan instruksi khusus kepada gubernur, bupati, dan walikota, untuk sekuat tenaga menciptakan peluang di daerahnya masing-masing. Dengan begitu, para TKI kita berpikir ulang untuk ke luar negeri karena telah tersedianya lapangan pekerjaan di daerah mereka masing-masing.

Banyaknya masyarakat kita yang lebih memilih menjadi TKI ditenggarai karena minimnya lapangan pekerjaan di Indonesia sehingga agen-agen TKI banyak berkeliaran. Bahkan, terkadang cara nekat (ilegal) mereka gunakan agar bisa bekerja sebagai TKI di luar negeri, tentu tanpa mengerti resiko yang akan mereka peroleh.

Ironisnya, tidak jarang banyak TKI kita tertipu oleh agen yang mengatasnamakan agen TKI resmi atau tertangkap basah di perairan negara lain atas tuduhan memasuki perairan negara lain tanpa izin dan semacamnya.

Di era globalisasi ini, TKI boleh saja bekerja di luar negeri tapi alangkah baiknya bila pemerintah mempekerjakan calon TKI di negeri sendiri. Selain melindungi dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, hal ini sekaligus dapat menekan angka kemiskinan karena penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup dan juga membangun kemandirian bagi negara kita.

Andai kata pemerintah serius menggarap lapangan pekerjaan, tak mungkin rakyat Indonesia banyak menjadi TKI karena dengan penyediaan lapangan pekerjaan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam melindungi TKI kita,  dan agar rakyat Indonesia tidak menjadi TKI.

Angga Bratadharma

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (beragama)(//rfa)

(Dimuat di Suara Mahasiswa, Okezone.com) 

24 Juni 2011

Ikut sertakan masyarakat


Adanya isu kursi haram di DPR sepertinya disambut dingin oleh anggota DPR yang terpilih namun, Bawaslu punya dua bukti adanya kursi haram di DPR, Mahfud MD (Ketua MK) juga punya dua bukti. Berarti ada empat ‘kursi haram’ di DPR, disusul dengan bukit-bukti lain yang memperluas adanya kursi haram di DPR. Sekarang tinggal melihat tanggapan DPR  seperti apa bila terbukti ada kursi haram di DPR, meski hebat dalam bersilat lidah, kita lihat saja perkembangan isu tersebut. Apakah akan diproses secara tegas bila terbukti ada anggota DPR yang duduk di kursi haram atau hanya akan menjadi wacana (lagi).

Bila terbukti ada kursi haram, aparat penegak hukum sebaiknya sensitif dan berani menangkap anggota DPR yang kedapatan duduk di kursi haram tersebut, bila perlu, pemberhentian tidak terhormat dan mengambil aset pribadi dari hasil menjadi anggota DPR, segera diambil negara. Hal ini agar membuat efek jera dan menegaskan bahwa negara kita adalah negara hukum yang tidak memandang siapapun dimata hukum.

Adanya kursi haram juga diakibatkan lemahnya koordinasi Bawaslu dan KPU serta pengawasan yang tidak maksimal ketika final rekapitulasi suara hingga akhirnya memunculkan calo-calo jual beli suara dan pemalsuan SK palsu untuk calon anggota DPR yang kalah dalam pemilu, yang nantinya akan dimuluskan jalanya menuju kursi di DPR. Tentu saja lagi-lagi uang yang bermain dalam hal ini.

Lemahnya pengawalan surat suara dari calon anggota DPR yang kalah dan putus asa sehingga tidak menyelesaikan masa rekapitulasi suara hingga final, juga turut menyumbang para calo bermain surat suara tersebut, dengan menjualnya kepada calon anggota DPR yang masih butuh suara lebih untuk duduk di DPR.

Biar bagaimana pun, KPU dan Bawaslu manusia biasa yang pasti melakukan kesalahan, maka sewajarnya ada transparansi rekapitulasi suara kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa menilai kejujuran yang diberikan KPU selaku panitia pemilu dan Bawaslu selaku pengawas pemilu.

Bila perlu, koordinasi masyarakat secara masif diikut sertakan dalam mengawasi kegiatan pemilu sehingga praktik kecurangan dalam surat suara dan munculnya SK palsu bisa diminimalisir. Bisa juga dengan tindakan tegas berupa hukuman penjara kepada pelaku jual beli suara dan yang mengeluarkan SK palsu, baik calo, anggota KPU atau Bawaslu, dan juga calon anggota DPR, agar kegiatan pemilu bisa bersih dari tindakan transaksi surat suara dan SK palsu.

Pengawasan masyarakat dan tanggapan yang serius dari aparat penegak hukum serta Bawaslu diharapkan berespon cepat bila ada kecurangan ketika kampanye sedang berlangsung, masyarakat juga sebaiknya menyadari, bila ada kampanye curang dengan menyuap beberapa kelompok di masyarakat untuk memilih suatu calon anggota DPR atau menemukan ada calo yang bertransaksi jual beli surat suara, langsung dilaporkan kepada pihak berwenang agar negara kita bisa membangun demokrasi yang utuh dan bermartabat.

Angga Bratadharma
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (beragama)

(Dimuat di Fokus Publik, Surat Kabar Republika)

20 Juni 2011

Antara TV dan anak

TV bagi sebagian orang adalah media yang menjadi patokan dalam melihat dunia. Dengan TV, seseorang dapat melihat perkembangan dunia, baik fashion, peristiwa bersejarah, musik, dan semacamnya. Namun, tanpa disadari, tidak semua pesan yang diberikan TV adalah baik dan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku. Cukup banyak tayangan-tayangan TV yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dinegeri kita. Misalkan saja, tayangan film yang berbau porno, klip musik yang menampilkan keelokan tubuh perempuan, tayangan kekerasan, acara gosip yang berlebihan dan semacamnya. Hal ini tentu membuat efek yang tidak baik bagi psikologi pemirsanya, terutama bagi anak kecil yang selalu menyerap sesuatu atas apa yang dilihatnya.

Baik atau tidaknya masyarakat, ditentukan oleh media pada negeri itu. Lalu mari kita lihat, bagaimanakah masyarakat kita dan media Tv kita, apakah diantara keduanya telah mencerminkan kalimat diatas. Jika tidak, harus dimulai dari mana perubahan tersebut dan apakah bisa merubahnya? Masyarakat yang berpatokan terhadap media TV, juga menggantungkan persepsinya dari media TV. Ini juga disebabkan, lemahnya pendidikan yang dimiliki masyarakat kita hingga akhirnya pesan yang disampaikan kepada pemirsa, langsung diserap tanpa dikritisi.

Tidak heran, banyak pemirsa yang melakukan sesuatu karena terpengaruh pesan yang disampaikan media Tv, contohnya saja masalah fashion. Banyak anak muda yang terpengaruh fashion karena artis yang terpampang di Tv mengenakan suatu baju atau aksesoris. Akhirnya menjadi ikon dan trendsetter, lalu diikuti masyarakat sehingga banyak yang menggunakan atau meniru fashion artis tersebut. Bahkan terkadang tidak melihat baik atau buruknya fashion tersebut. Meski tidak sesuai norma yang ada, bila fashion tersebut telah menjadi trend, masyarakat kita berani menerobos nilai-nilai tersebut, Alhasil, terjadi pergeseran moral dimasyarakat kita.

Teori Agenda Setting yang dianut media TV, bertujuan untuk menciptakan opini publik terhadap pemberitaan suatu media sehingga pemirsa digiring kepada suatu perilaku. Padahal, media TV harus berpihak kepada masyarakat tidak kepada kepentingan owner atau kepentingan golongan dengan menggiring persepsi. Idelanya, media bersikap netral dan menayangkan sesuatu apa adanya tanpa berlebihan, terutama sebagai mesin politik, sebaiknya media Tv hanya memberitakan apa adanya, tidak menggiring kepada opini publik karena akan membentuk perilaku yang diinginkan media Tv itu sendiri. Frekuensi adalah milik masyarakat, sudah sepantasnya media TV tidak menggunakan hal tersebut dengan semena-mena dan menayangkan program-program yang melenceng dari nilai-nilai dan moral yang ada.

Kalau kita telaah, sudah berapa kali, sebuah tayangan dibredel dan diberhentikan karena telah melenceng dari kaidah-kaidah penyiaran. Namun, yang terjadi sekarang ini, dengan mudahnya program tersebut diganti namanya saja dan tetap memiliki konten yang sama dan kembali tayang. Setelah itu bisa belengga-lenggo santai tanpa merasa bersalah. Ironinya, program tersebut tetap menganut paham yang sama ketika dbredel. Tentu saja lagi-lagi masyarakat yang dirugikan, bayangkan masyarakat kita yang memiliki tingkat pendidikan rendah diterpa pesan media Tv yang memiliki tujuan tertentu. Alhasil, masyarakat akan menjadi komoditas kepentingan untuk mencari kekayaan.

Salah satu fungsi media massa adalah memberikan pendidikan. Dalam hal ini, media memiliki tugas untuk mencerdaskan masyarakat. Namun, yang terjadi justru kepentingan uang yang didahulukan, banyaknya iklan diprioritaskan daripada memberikan pendidikan yang baik untuk masyarakat, menjadikan gambaran betapa mudahnya masyarakat dipermainkan untuk tujuan mencari uang dengan cara membuat program-program yang memiliki rating tinggi sehingga iklan mengantri masuk.

Padahal, Tv memiliki peranan yang sangat penting dan cukup berpengaruh dalam mengubah perilaku pemirsanya. Tentu tanpa kepentingan lain dibalik mencerdaskan masyarakat.

Lemahnya pengawasan dan tidak ada instansi yang kuat dalam menyikapi laporan terhadap media Tv yang tidak sesuai kadiah penyiaran, memberikan peluang bebas kepada media Tv untuk tetap menyiarkan program yang lebih mengedepankan acara menarik dan mendatangkan uang banyak dari pada menganut paham idealis.

Hari tanpa Tv, muncul bukan sebagai kumpulan masyarakat yang anti TV, tapi lebih kepada merupakan wujud nyata sikap kritis terhadap tayangan Tv yang tidak bermutu, membodohi, dan tayangan yang tidak aman dan tidak sehat untuk anak. Fokusnya pada perlindungan anak dan kepentingan terbaik anak.

Karena anak sangat mudah dipengaruhi, terlebih mereka menyerap pesan tanpa mengkritisi karena memang psikologi yang dimiliki seperti itu. Lalu bayangkan ketika anak disuguhkan tayangan kekerasan. Akhirnya Ada seorang anak yang tewas oleh temanya sendiri karena mengikuti adegan Smack Down yang disajikan di media Tv. Ini membuktikan betapa kuatnya pesan media Tv dalam memengaruhi sikap dan perilaku anak. Tapi, hal itu tetap tidak meyadarkan para media Tv dalam memberikan pendidikan kepada anak.

Hari tanpa Tv juga menyadarkan kepada masyarakat, terutama keluarga bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika banyak kegiatan lain dapat dilakukan ketimbang menonton TV. Pengalaman seperti ini penting dimiliki anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa hidup tetap menyenangkan tanpa harus tergantung pada Tv

Tidak bisa dipungkiri, acara televisi yang tayang saat ini masih banyak berisi muatan yang merugikan anak.
Hari Tanpa TV juga merupakan wujud kepedulian dan simbol perubahan yang kita harapkan dari semua pihak. Stasiun TV kita harapkan memiliki kesadaran untuk menyediakan tayangan yang aman bagi anak.
Sosialisasi kepada orang tua untuk mendampingi anaknya ketika menonton pun penting, guna mengawasi dalam konsumsi media yang sesuai dan mendidik. Yuk, kita isi kegiatan lain yang bernilai positif ketika kita matikan Tv.

19 Juni 2011

PSSI dalam lingkaran kepentingan golongan

Sepak Bola Indonesia mengalami masa kritis.­­ turunya rezim Nurdin Halid dan jajaranya, ternyata tidak membuat permasalahan selesai sampai disitu. Perebutan kursi Ketua Umum PSSI telah menjadi incaran sejumlah orang yang beretorika membenahi sistem di PSSI. Namun, dalih tersebut, justru membuat kebalikanya sendiri, kekisruhan semakin memanas di tubuh PSSI.

Kongres pada 20 Mei, menjadi momentum kencangnya perebutan kursi ketua umum PSSI. Kongres yang harus ditutup oleh Agum Gumelar, selaku ketua Komite Normalisasi (KN) yang merupakan bentukan FIFA, menimbulkan kegaduhan dan interupsi dari sejumlah orang, termasuk kelompok 78.
Padahal, kongres ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan ditubuh PSSI. Ini mengindikasikan, adanya kepentingan kelompok masing-masing dibalik retorika dalam membenahi sistem di PSSI.

Kalau saja pihak yang bertikai menyadari,.biar bagaimana pun yang berperan penting dalam sepak bola adalah pemain. Namun yang terjadi, para calon Ketua Umum PSSI ini, justru membiarkan para pemain hancur semangatnya karena isu turunya sanksi dari FIFA kepada PSSI. Padahal turunya sanksi FIFA, membuat malu Indonesia selaku tuan rumah karena tidak bisa mengikuti SEA games. Namun, kata malu mungkin tidak bisa menyadari para pemilik kepentingan golongan ini.

Kenyataanya, para pengincar kekuasaan tetap bersikukuh mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PSSI. Tidak peduli bagaimana nasib para pemain dan pandangan masyarakat tentang olah raga yang dapat mempersatukan bangsa ini. Bahkan, pandangan dunia Internasional, tetap membutakan mereka dalam mencapai kepentingan yang telah masuk kedalam relung jiwa mereka.

Mungkin rasa persatuan dan keutuhan bangsa, pada hati perebut kursi Ketua Umum PSSI, telah meleleh dalam kepentingan golongan sehingga makna membangun telah berganti menjadi ambisus. Itukah PSSI, atau itukah mereka yang berkeinginan membuat PSSI sebagai mesin pencetak kepentingan golongan.

(Dimuat di Surat Kabar Republika)

Sepeda Sebagai Solusi Kesehatan


PERKEMBANGAN jaman yang signifikan di berbagai bidang ternyata tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana umum yang memadai, salah satunya adalah jalan raya. Jalan di Kota Jakarta hanya berkembang beberapa persen saja dan tidak seimbang dengan pertambahan pengguna kendaraan, baik kendaraan bermotor maupun mobil. Alhasil terdapat rawan kemacetan dibeberapa titik di Kota Jakarta.

Hal ini membuat sebagian orang, terutama mahasiswa dan mahasiswi, harus menerobos kemacetan dengan mengorbankan waktu dan tenaganya untuk bisa sampai di kampusnya. Sesampai di kampus, tenaga dan pikiranpun telah terkuras sehingga tidak bisa berkonsentrasi penuh dalam menyerap materi dari dosen dikelas.

Sepeda yang kian hari semakin gencar digalakan, seperti oase dalam permasalahan tersebut. Gowes-menggowes menjadi sebuah kesadaran betapa pentingnya sepeda dalam langkah mengurangi kemacetan dan memberikan kesehatan fisik sehingga kesehatan dapat terjaga baik dan menciptakan lingkungan yang bersih dari asap kendaraan.

Hal ini dapat terlihat ketika acara Car Free Day di Kota Jakarta dan banyaknya pekerja dan anak muda yang bersepeda menuju kantor, kampus atau sekolah. Banyaknya masyarakat yang bersepeda mengindikasikan, adanya respons positif masyarakat tentang sepeda. Meski minimnya jalur pengguna sepeda, namun tidak membuat para pecinta sepeda berhenti bersepeda dalam melakukan aktivitas menuju tempat tujuanya.

Keberhasilan Bike to Work ternyata dapat mendorong lahirnya Bike to Campus, yang akhirnya banyak mahasiswa dan mahasiswi mengendarai sepeda untuk menuju kampus. Pihak akademik universitas pun menyadari arti pentingnya sepeda sebagai alat transportasi yang murah dan ramah lingkungan sehingga ada beberapa kampus yang menyediakan parkir sepeda bagi para mahasiswa yang membawa sepeda serta mendorong kegiatan positif tersebut agar dapat terlaksana secara berkala.

Hal positif ini, sebaiknya diteruskan agar bisa mengurangi polusi udara yang dihasilkan kendaraan roda dua, empat, atau lebih, dan dapat membatasi masuknya volume kendaraan ke Kota Jakarta sehingga dapat mengurangi tingkat kemacetan.

Selain dapat menyehatkan tubuh, sepeda juga dapat mempersatukan rasa persaudaraan antara mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas. Hal ini dapat menciptakan sebuah karakter kuat, betapa pentingnya sepeda dalam menciptakan alam dan tubuh yang sehat serta pergaulan yang baik.

Bike to Campus juga bisa menjadi contoh untuk orang lain agar menyadari betapa pentingya sepeda sebagai alat transportasi yang dapat meminimalisir masalah polusi udara dan melahirkan komunitas yang positif di Kota Jakarta serta merupakan sebuah langkah baik dalam mencerdaskan anak bangsa agar menyadari betapa pentingnya lingkungan yang sehat dan bersih untuk kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.

Angga Bratadharma
Mahasiswa Faklutas Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (beragama)(//rhs)
(Dimuat di Suara Mahasiswa, Okezone.com)

09 Juni 2011

Antara membuang sampah dan kesadaran


ALAM memiliki kekayaan yang begitu berlimpah bagi manusia, bahkan bagi semua mahluk hidup lainnya. Ketidakseimbangan alam akan membuat ketidakstabilan bumi sehingga kehidupan makhluk di bumi akan terancam. Apalagi, di zaman sekarang perkembangan di segala bidang telah menunjukan angka yang signifikan namun hal tersebut tidak diimbangi dengan kelestarian alam yang telah ada untuk manusia.

Di era milenium ini, lingkungan hidup telah terkikis karena ulah tangan tidak bertanggung jawab, salah satunya adalah membuang sampah sembarangan. Bagi sebagian orang, sampah mungkin dipandang hal biasa dan tidak dipedulikan. Namun, yang jadi masalah adalah ketika sampah tersebut dibuang sembarangan oleh seseorang, baik di jalan umum, sarana dan prasarana umum, maupun di aliran sungai. Akibatnya, terjadi penumpukan sampah di beberapa titik, bila diumpamakan suatu penyakit, mungkin sudah sampai tingkat stadium empat.

Sampah terbagi dalam dua jenis, yaitu sampah organik dan non-organik. Penempatan tempat sampah biasanya juga dibedakan untuk kedua jenis sampah tersebut. Hal ini, guna memudahkan petugas kebersihan memilah sampah. Namun yang terjadi, terkadang seseorang merasa malas untuk membuang sampah di tempatnya, padahal tempat sampah hanya berjarak beberapa meter dari dia berada. Ini mengindikasikan, lemahnya kesadaran seseorang dalam menjaga kebersihan dan keasrian alam.

Padahal alam hadir dengan keelokan yang rupawan untuk manusia. Tanpa tatanan manusia, alam telah terbentuk dengan sendirinya. Namun yang terjadi sekarang, manusia telah mencoreng keelokan alam. Buang sampah sembarangan ketika sedang mengendarai kendaraan pun sering dilakukan masyarakat, bayangkan bila masyarakat lain mengikuti jejak tersebut. Alhasil, bumi akan penuh dengan lautan sampah. Tidak jarang ketika sampah menumpuk, yang keluar dari mulut manusia adalah keluhan dan hujatan.

Sosialisasi buang sampah pada tempatnya, dirasa kurang maksimal karena biasanya menggunakan spanduk dan pamflet saja. Seharusnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah pada tempatnya disosialisasikan secara preventif dan melalui komunikasi tatap muka oleh pemerintah sehingga menimbulkan memori dan tersimpan dalam mindset masyarakat. Jika perlu, ada tindakan tegas kepada pelaku yang membuang sampah sembarangan namun bukan berarti mengenakan sanksi denda karena hal itu akan berbuntut masalah baru, yaitu korupsi. Yang dimaksud tindakan tegas adalah hukum kurungan langsung atau sanksi moral. Pembentukan satuan aparat pun dirasa perlu, agar fokus menangani masalah tersebut.

Lembaga yang berwenang menangani masalah sampah, yaitu  pemerintah, juga dirasa kurang memaksimalkan pelayanannya kepada masyarakat. Kedatangan truk sampah yang tidak tepat waktu tak jarang membuat banyaknya keluhan di masyarakat karena tumpukan sampah telah membusuk. Budaya kuat pun dirasa tidak ada sehingga memunculkan pesimisme di masyarakat kepada pemerintah.

Sampah yang busuk, dapat merusak kontur tanah dan berakibat rusaknya pohon-pohon. Bila tanah rusak akibat tercemar polusi dari sampah, bisa dikatakan menjadi malapetaka karena tanah merupakan penyangga kehidupan di bumi ini. Pasti semua mahluk hidup yang bergantung dengan adanya tanah akan mengalami ancaman dalam kelangsungan hidup. Dampak yang besar ini hanya karena kebiasaan kita membuang sampah sembarangan.
 
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Lingkungan dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 1988 tentang Kebersihan Lingkungan dalam Wilayah DKI Jakarta serta Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pembuang sampah ke sungai akan dikenakan sanksi pidana 10 hingga 60 hari kurungan atau denda dari Rp100 ribu hingga Rp20 juta. Namun yang terjadi, peraturan pemerintah tersebut seperti tidak dipedulikan oleh masyarakat. Entah ketidaktahuan tentang peraturan tersebut atau memang tidak peduli terhadap lingkungan hidup.

Membangun kesadaran masyarakat mengenai arti pentingnya membuang sampah, seharusnya menjadi fokus pemerintah dan masyarakat itu sendiri karena yang terjadi sekarang, perbandingan masyarakat yang sadar dan cuek dalam hal membuang sampah, 1:10 orang. Psikologi dalam individualitas sekarang ini dirasa meresahkan karena menjadi polemik. Kelestarian alam, tidak bisa dilestarikan hanya oleh beberapa orang saja, kerja sama antar masyarakat dalam skala besar dibutuhkan untuk menciptakan kelestarian alam.

Bila masalah sampah dibiarkan maka sudah pasti keseimbangan alam terganggu. Bisa dibuktikan sekarang ini, banjir di mana-mana, banyaknya penyakit yang timbul akibat banjir, bau yang menyengat, tanah longsor, bahkan polusi udara. Ketika banjir datang, masyarakat pun sudah tidak takut lagi, justru sudah berteman dengan banjir. Polemik yang berkepanjangan ini masih menjadi daftar pemerintah untuk diselesaikan. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat di semua lapisan, dirasa perlu untuk menciptakan alam yang bersih dari sampah.

Jadi, kesadaran kita untuk membuang sampah pda tempatnya, harus digalakan mulai dini. Meski langkah kecil, namun, bila dilakukan bersama, alam yang indah dan bersih dari sampah, bukanlah impian semata. Karakter yang kuat untuk meyayangi bumi ini harus ditanamkan dari sekarang, untuk bumi yang lebih baik.

Angga Bratadharma

Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (beragama)(//rfa) 

(Dimuat di Okezone.com, Suara Mahasiswa)

08 Juni 2011

Keterlibatan Partai Politik dalam korupsi di Indonesia


Isu korupsi yang melibatkan partai politik, sebenaranya sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Terutama menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sikut menyikut diantara para partai politik, menjadikan gambaran betapa kejamnya pencapaian kursi di pemerintahan.
Padahal, partai politik yang beretorika atas nama kepentingan rakyat, seharusnya, bisa mengimplementasikan janji-janjinya secara nyata ketika terpilih duduk di pemerintahan, jangan menjadi sebaliknya.

Rentanya elite dan kader partai politik melakukan korupsi juga ditenggarai karena demokrasi yang masih prosedural dan liberal sehingga membuat para partai politik harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit dalam berpolitik. Belum lagi, rival antar calon, membuat para kader dan elite politik berlomba memenangkan pemilihan.
Banyaknya media yang menyoroti hal serupa, mengindikasikan begitu banyaknya para koruptor di negeri ini, bahkan pembentukan lembaga negara seperti KPK, tetap tidak bisa membendung liarnya para koruptor beraksi di negeri ini. Terbukti dari banyaknya pemberitaan tentang dugaan korupsi dan koruptor tertangkap di media massa.

Tingginya tingkat korupsi di negeri ini, juga disebabkan lemahnya hukum kita dalam memberikan hukuman terhadap pelaku korupsi. ketika seorang pelaku korupsi masuk kedalam penjara, jatuhan hukum dari hakim hanya bilangan tahun, padahal kejahatan yang dilakukanya telah menghancurkan negara lebih dari pada itu,  ditambah dengan generasi muda yang seharusnya bisa belajar dari partai politik mengenai pendidikan politik yang baik, justru mendapatkan pengajaran mengenai pendidikan korupsi dari partai politik.

Akhirnya partai politik diibaratkan, hanya menjadi sawah tempat tumbuhnya korupsi, yang tanamanya adalah proyek-proyek di pemerintahan.

(Dimuat di surat kabar Republika)

Futsal dan sepak bola

 
Sepak bola merupakan olah raga yang diminati hampir semua anak muda di Indonesia, sepak bola juga dapat menyatukan bangsa ini, baik suporter maupun pemain sepak bola.
 
Namun, di era sekarang ini, Sepak bola dihadapkan dengan permasalahan baru. Sepak bola yang membutuhkan lapangan besar untuk bisa bermain, ternyata harus rela kehilangan lahan tersebut karena adanya pembangunan di berbagai sektor diluar bidang sepak bola. Hal ini membuat anak muda harus menahan diri untuk bisa bermain sepak bola dilapangan besar. Akhirnya pembinaan anak muda dalam sepak bola menjadi tersendat.

Alhasil, muncul lapangan futsal dimana-mana sebagai bentuk solusi dari permasalahan lahan. Akibatanya banyak anak muda yang beralih ke futsal, ini mengindikasikan tidak ada perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang cukup untuk bermain sepak bola bagi anak muda sehingga dapat memengaruhi prestasi sepak bola di tanah air.

Meski ada perpindahan dari sepak bola ke futsal karena alasan lahan. Sebaiknya futsal dijadikan sebuah program untuk membina dan menciptakan bintang-bintang lapangan dimasa depan, bantuan moril dan materil dari pemerintah, juga diharapkan bisa mendukung program tersebut.

07 Juni 2011

Pembiaran NII ditengah Masyarakat


Banyaknya mahasiswa dan mahasiswi diculik dan dicuci otaknya oleh NII, mengindikasikan adanya pembiaran dari pemerintah terhadap pergerakan NII. Dalam hal ini, pemerintah dianggap lemah karena tidak mampu menghentikan laju perkembangan, bahkan pembubaran NII yang telah lama ada di Indonesia. Padahal, NII jelas dinyatakan ‘sesat’ dan melenceng jauh dari ideologi bangsa ini.
NII sekarang, memiliki tujuan berbeda dengan NII yang didirikan ulama karismatik Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo  yang telah dieksekusi beberapa tahun lalu. Jika Kartosuwiryo ingin mendirikan Negara islam secara berdaulat di Indonesia maka NII sekarang telah bermetamorfosis dengan kepentingan uang  semata, berbasis agama.
Tidak ada UU yang menjerat, dianggap sebagai salah satu factor yang membuat NII semakin liar dan berani berkeliaran ditengah masyarakat, bahkan tindakan aparat penegak hukum menjadi tidak berarti terhadap pelaku NII, yang akhirnya membuat masyarakat semakin resah.
Seharusnya, metode pembelajaran Pancasila dikaji ulang dalam materi perkuliahan, agar dapat diimplementasikan secara nyata sehingga dapat menumbuhkan rasa nasionalisme bagi para mahasiswa dan mahasiswi.