PENAIKAN tarif tol (lagi) sepertinya menjadi masalah baru bagi masyarakat, terutama mereka yang menggunakan jasa tol. Banyak masyarakat menggunakan jasa tol untuk menghindari kesemrawutan jalan di Kota Jakarta.
Namun, penaikan tarif tol itu dirasa tidak memiliki alasan yang kuat meski dalam hal ini dikaitkan dengan peningkatan inflasi yang terjadi. Penaikan itu tidak dibarengi dengan perbaikan budaya organisasi yang baik dan pelayanan infrastruktur yang memadai. Ironisnya.-tidak jarang mobil yang mogok di dalam tol harus berhadapan dengan derek liar. Belum lagi beberapa bagian jalan tol bergelombang dan penambal-an-penambalan jalan justruberdampak ketidaknyamanan dalam berkendara.
Memang penaikan tarif tol sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yakni penaikan tarif tol dilakukan setiap dua tahun dan disesuaikan dengan inflasi. Penaikan dilakukan untuk mempertahankan internal rate of return atau pengembalian investasi.
Namun, jika dilihat dari kesemrawutan jalan di Kota Jakarta, tentu para pengguna jasa tol menginginkan perubahan dan peningkatan kenyamanan juga. Tidak hanya tarif tol, tetapi internal organisasi dalam melayani masyarakat. Bila tidak, bagaimana masyarakat bisa dire-dam dan mulut mereka ditutup hanya dengan mengatasnamakan rakyat?
Di era sekarang, sewajarnyamasyarakat menjadi salah satu pengawas dalam usaha negara membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, tidak adil rasanya bila hanya tarif tol yang dinaikkan tanpa ada perbaikan signifikan terhadap budaya organisasi pengelola tol.
Sungguh bijak bila pemerintah juga ikut mendengar aspirasi masyarakat tentang keluhan-keluhan terkait dengan kepuasan penggunaan jasa tol. Syukur-syukur, bila inflasi turun, terjadi penurunan tarif tol juga.
Namun, yang menjadi fokus ialah bagaimana pemerintah bisa meningkatkan kualitas kinerja dalam segala aspek, tentu dalam hal peningkatan jasa tol.
Angga Bratadharma
Bekasi
(Dimuat Media, Opini Publik, Media Indonesia, tanggal 12 September 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar