Menguaknya kasus seks didalam jeruji, dan pemberitaan dibeberapa media massa, kini telah membuka rahasia yang sebelumnya mungkin tidak semua publik mengetahui hal tersebut. Memang menjadi ironi, karena penjara yang merupakan tempat terputusnya beberapa kebebasan dan tempat 'dibalaskanya' tindakan kejahatan seseorang, ternyata juga memutuskan kebutuhan biologis seorang terpidana.
Kebutuhan biologis ini, merupakan anugerah dan fitrah yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, menguaknya kasus seks didalam jeruji ini, menjadi gambaran, bahwa secara psikologis, seorang terpidana membutuhkan hal tersebut, terutama, mereka yang memiliki istri atau suami.
Adanya ruangan khusus untuk narapidana yang ingin berhubungan seks dengan suami atau istrinya, sebaiknya disediakan oleh pihak Lapas, tentu dengan beberapa ketentuan yang tegas dan tidak menyimpang, serta ada pengawasan ketat dari pemerintah pusat agar kebijakan tersebut tidak memunculkan masalah baru.
Hal ini, diperuntukan agar terpidana yang memiliki suami atau istri, dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan baik dan tepat, yaitu kepada suami atau istri terpidana. Karena kebutuhan bilologis ini, mutlak dibutuhkan terpidana, tentu dalam hal ini, mereka yang memiliki suami atau istri.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak memiliki suami atau istri. Karena ditakutkan akan terjadi aksi pelacuran didalam Lapas dan terjadi transaksi administrasi terkait pemenuhan kebutuhan biologis. Maka, kebijakan tersebut, harus dijaga ketat.
Pengawasan ketat oleh petugas Lapas dan pemerintahan terkait pascakebijakan tersebut pun harus diberlakukan secara tegas dan kontinu. Pasalnya, terpidana yang dianggap 'Bos', bila tidak dapat menyalurkan hasrat biologisnya, tentu akan berimbas kepada terpidana yang lemah karena terpidana lemah, ditakutkan akan menjadi korban pemenuhan nafsu si Bos ini. Maka, harus ada tindakan tegas terkait masalah tersebut, guna menciptakan sistem yang baik dan tegas.
Jadi, kebijakan disediakan ruangan khusus untuk berhubungan dengan suami atau istri, merupakan langkah baik dalam memenuhi kebutuhan biologis para terpidana, agar psikologis mereka tidak berubah dan fokus kepada hukuman yang mereka jalankan.
Namun, bukan berarti, kebijakan tersebut diselewengkan dengan adanya celah-celah yang dicari untuk dijadikan objek cari proyek-proyek nakal. Maka, harus ada pengawasan yang ketat dari semua pihak, terutama media massa sebagai pilar keempat dari negara sehingga masyarakat mengetahui kebijakan pemerintah, dan sekaligus turut serta mengawasi pembangungan di Indonesia
(Dimuat di rubrik Fokus Publik, Surat kabar Republika)
24 September 2011
13 September 2011
Mereka Butuh Kasih Sayang
BERTEPATAN pada 23 Juli yang lalu, kita telah memperingati Hari Anak Nasional (HAN) yang sepertinya menjadi hari fokusnya dunia anak oleh kita semua. Meski hampir tiap tahun kita merayakan hal tersebut, namun masalah yang terjadi pada anak-anak sepertinya masih menjadi PR bagi kita semua.
Tentu kita tidak bisa membohongi kenyataan yang ada di lapangan, bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang kurang beruntung dan butuh pertolongan kita.
Namun dari PR yang begitu banyak ini, pemerintah seakan enggan menyeimbangkan kinerjanya sesuai dengan permintaan masyarakat. Terbukti dari masih banyak anak-anak yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, baik pelecehan seksual, tindak kekerasan maupun minimnya kesempatan mengenyam pendidikan.
Belum lagi kurangnya rasa aman yang dimiliki anak-anak. Tentunya ini akan berimbas kepada psikologi mereka sehingga memunculkan karakter yang keras, tidak beradab, dan semacamnya. Tentu hal itu akan menghambat bangsa dalam mencetak generasi yang beradab dan mencetak calon pemimpin.
Adanya peringatan HAN, sebetulnya adalah sebuah peringatan untuk kita semua bahwa masih banyak wajah anak-anak Indonesia yang masih butuh pertolongan 'senyuman' oleh pemerintah dan kita, selaku masyarakat.
Sepertinya HAN hanya menjadi sebuah sorotan sementara oleh pemerintah. Terlebih pemerintah lebih sibuk mengurusi masalah politik dan kebijakan-kebijakan non-anak. Sedangkan masyarakat yang peduli namun tidak memiliki modal dan keterampilan untuk berbuat sesuatu, tidak bisa berbuat banyak untuk anak-anak Indonesia yang kurang beruntung.
Pepatah Belanda mengatakan, "Siapa yang mempunyai generasi muda, merekalah yang mempunyai masa depan." Oleh karena itulah kita harus serius menangani generasi muda agar bangsa ini memiliki masa depan yang gemilang.
Pada peringatan HAN, tentu banyak yang berharap bahwa HAN tidak hanya sebuah peringatan. Namun, bisa direalisasikan secara nyata dan dalam jangka waktu yang panjang agar anak-anak mendapatkan hak-hak mereka. Terutama, masalah pendidikan dan kesehatan.
Anak-anak Indonesia yang kurang beruntung atau prasejahtera, sebenarnya bila diberi kesempatan dan media yang tepat mereka memiliki talenta dan kreativitas yang hebat. Sayangnya hal tersebut sangat minim tersedia. Akhirnya jalanan menjadi tempat bagi mereka dalam menggali kreativitas dan mencari uang untuk bertahan hidup.
Berbicara masa depan, maka konsentrasi kita harus ditujukan kepada anak-anak. Merekalah yang akan menjadi penerus keberlanjutan negara ini dan menjadi tugas kita semua untuk mempersiapkan mereka dengan baik, agar negara ini bisa mencapai cita-cita seperti ditetapkan para pendiri bangsa.
Dalam era globalisasi, bila pemerintah tidak menaruh perhatian kepada anak-anak Indonesia dalam menjamin hak-hak hingga dapat mereka nikmati, maka mereka tidak akan dapat bertahan dalam globalisasi. Sehingga bangsa Indonesia ditakutkan akan mengalami krisis generasi kepemimpinan. Bila hal itu terjadi, maka kemungkinan besar bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran dalam hal generasi.
Bila masyarakat memiliki modal dan pengetahuan, mereka bisa membangun rumah singgah bagi anak-anak ini, terlebih di dalamnya terdapat program pembelajaran untuk anak-anak tersebut.
Jika ada kerja sama dan komitmen dari kita semua dalam memberikan kasih sayang kepada mereka, tentu anak-anak Indonesia dapat mendapatkan hak-haknya. Hingga akhirnya bangsa memiliki generasi yang beradab dan berkualitas.
Tentu kita tidak bisa membohongi kenyataan yang ada di lapangan, bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang kurang beruntung dan butuh pertolongan kita.
Namun dari PR yang begitu banyak ini, pemerintah seakan enggan menyeimbangkan kinerjanya sesuai dengan permintaan masyarakat. Terbukti dari masih banyak anak-anak yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, baik pelecehan seksual, tindak kekerasan maupun minimnya kesempatan mengenyam pendidikan.
Belum lagi kurangnya rasa aman yang dimiliki anak-anak. Tentunya ini akan berimbas kepada psikologi mereka sehingga memunculkan karakter yang keras, tidak beradab, dan semacamnya. Tentu hal itu akan menghambat bangsa dalam mencetak generasi yang beradab dan mencetak calon pemimpin.
Adanya peringatan HAN, sebetulnya adalah sebuah peringatan untuk kita semua bahwa masih banyak wajah anak-anak Indonesia yang masih butuh pertolongan 'senyuman' oleh pemerintah dan kita, selaku masyarakat.
Sepertinya HAN hanya menjadi sebuah sorotan sementara oleh pemerintah. Terlebih pemerintah lebih sibuk mengurusi masalah politik dan kebijakan-kebijakan non-anak. Sedangkan masyarakat yang peduli namun tidak memiliki modal dan keterampilan untuk berbuat sesuatu, tidak bisa berbuat banyak untuk anak-anak Indonesia yang kurang beruntung.
Pepatah Belanda mengatakan, "Siapa yang mempunyai generasi muda, merekalah yang mempunyai masa depan." Oleh karena itulah kita harus serius menangani generasi muda agar bangsa ini memiliki masa depan yang gemilang.
Pada peringatan HAN, tentu banyak yang berharap bahwa HAN tidak hanya sebuah peringatan. Namun, bisa direalisasikan secara nyata dan dalam jangka waktu yang panjang agar anak-anak mendapatkan hak-hak mereka. Terutama, masalah pendidikan dan kesehatan.
Anak-anak Indonesia yang kurang beruntung atau prasejahtera, sebenarnya bila diberi kesempatan dan media yang tepat mereka memiliki talenta dan kreativitas yang hebat. Sayangnya hal tersebut sangat minim tersedia. Akhirnya jalanan menjadi tempat bagi mereka dalam menggali kreativitas dan mencari uang untuk bertahan hidup.
Berbicara masa depan, maka konsentrasi kita harus ditujukan kepada anak-anak. Merekalah yang akan menjadi penerus keberlanjutan negara ini dan menjadi tugas kita semua untuk mempersiapkan mereka dengan baik, agar negara ini bisa mencapai cita-cita seperti ditetapkan para pendiri bangsa.
Dalam era globalisasi, bila pemerintah tidak menaruh perhatian kepada anak-anak Indonesia dalam menjamin hak-hak hingga dapat mereka nikmati, maka mereka tidak akan dapat bertahan dalam globalisasi. Sehingga bangsa Indonesia ditakutkan akan mengalami krisis generasi kepemimpinan. Bila hal itu terjadi, maka kemungkinan besar bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran dalam hal generasi.
Bila masyarakat memiliki modal dan pengetahuan, mereka bisa membangun rumah singgah bagi anak-anak ini, terlebih di dalamnya terdapat program pembelajaran untuk anak-anak tersebut.
Jika ada kerja sama dan komitmen dari kita semua dalam memberikan kasih sayang kepada mereka, tentu anak-anak Indonesia dapat mendapatkan hak-haknya. Hingga akhirnya bangsa memiliki generasi yang beradab dan berkualitas.
Angga Bratadharma
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama)
(//rhs)
Dimuat di Okezone.com rubrik Suara Mahasiswa
Jangan Beri Mereka Asap Rokok!
PERINGATAN Hari Anak Nasional (HAN) yang telah kita peringati beberapa waktu yang lalu, merupakan salah satu bentuk kepedulian kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat, terhadap anak-anak Indoesia, yang tidak lain adalah generasi penerus bangsa ini. Di pundak merekalah bangsa ini akan dipikul untuk diteruskan perjuanganya sesuai dengan keinginan bersama.
Peringatan HAN juga menjadi fokus bersama kita semua, terutama tentang hak-hak anak Indonesia yang belum mereka dapatkan. Salah satu hak mereka adalah udara bersih dari asap rokok. Udara bersih dari asap rokok merupakan hak anak yang sering kita lupakan. Bahkan hal tersebut tidak jarang kita curi dari mereka dengan cara mengotori udara dengan asap rokok.
Merokok bagi sebagian kalangan mungkin bukanlah hal tabu lagi, terutama bagi para orangtua. Selain merokok di tempat umum, biasanya para orangtua juga merokok di dalam rumah, tanpa melihat bahwa ada anak-anak didalamnya. Padahal, tanpa disadari asap rokok tersebut dihirup oleh anak-anak mereka. Tentu ini adalah hal serius karena dapat memengaruhi kondisi kesehatan anak.
Parahnya, tidak jarang para orang tua merokok di dekat anak mereka, entah itu sedang bermain bersama di dalam suatu ruangan, atau sedang menggendong anaknya. Tentu asap rokok tersebut akan dihisap langsung dalam jumlah yang banyak
Mungkin kita tidak menyadari asap rokok dihisap oleh anak-anak dapat berakibat cukup buruk. Bukan hanya merusak paru-paru mereka tetapi juga bisa menimbulkan gangguan perilaku berupa hiperaktivitas dan gangguan konsentrasi (ADHD).
Potret di lapangan, asap rokok tidak hanya melanda anak-anak yang berada di rumah saja. Apalagi di tempat umum. Masih banyak perokok yang yang merokok di tempat umum tanpa peduli ada kehadiran anak-anak. Hal ini sangat disayangkan, pasalnya, mereka sangat rentan menjadi perokok pasif, terlebih mereka berada dalam fase pertumbuhan. Maka sepantasnya kita menyediakan udara bersih dari asap rokok untuk memaksimalkan pertumbuhan mereka sehingga tumbuh menjadi generasi yang sehat dan gemilang.
Oleh karenanya, melalui HAN, mari kita jadikan hal tersebut sebuah momentum perubahan terhadap diri kita, agar mengurangi bahkan menghentikan pemberian asap rokok kepada anak-anak Indonesia. Baik di mana pun mereka berada maupun dari mana mereka berasal. Karena dengan demikian, kita telah berpartisipasi dalam memberikan hak mereka tentang udara bersih dari asap rokok.
Angga Bratadharma
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama)
(//rhs)
Dimuat di Okezone.com rubrik Suara Mahasiswa
Mencetak Calon Pemimpin
BEM merupakan salah satu kegiatan kampus yang positif dalam membangun karakter mahasiswa yang pandai dalam berorganisasi, dan dalam mencetak calon pemimpin yang kritis dan idealis. Sosialisasi BEM sebaiknya diperkuat agar semua mahasiswa dapat mengetahui informasi tentang BEM secara keseluruhan. Penjelasan tentang kegiatan, tugas, dan fungsinya pun sebaiknya diinformasikan secara terus-menerus agar informasi tersebut bisa diketahui oleh semua mahasiswa karena BEM adalah kegiatan yang sangat bermanfaat dalam memberikan pengajaran berorganisasi. Selain itu, BEM juga menjadikan mahasiswa terbiasa bekerja sama dalam suatu organisasi, sesuai dengan job desknya. Hal itu sangat dibutuhkan ketika terjun didunia masyarakat dan dunia kerja. Bahkan ketika dipilih sebagai pemimpin nantinya, mahasiswa yang pernah menjadi anggota BEM, tentu bisa langsung beradaptasi dengan cepat dan baik karena pengalamanya di BEM.
Angga Bratadharma
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Prof. DR. Moestopo (beragama)
Dimuat disurat kabar Kompas Rubrik Argumentasi
Langganan:
Postingan (Atom)