Kacamata dan Komputer. Mudik, bagi ssebagian kalangan mungkin merupakan sebuah kewajiban. Bagi bangsa besar seperti Indonesia, mudik merupkan momentum yang baik bagi para insan untuk pulang ke kampung halaman, tentu dengan tujuan bersilahturahmi kepada sanak saudara dan orang tua, serta mempererat rasa kekeluargaan, yang mungkin selama ini telah longgar karena kurangnya komunikasi dan jarang bertemu secara tatap muka. Tentu, silahturahmi menjadi salah satu momentum dalam memperbaiki hal tersebut.
Saling memaafkan juga merupakan sebuah keindaham karena dapat menjalin kebersamaan dan kekeluargaan sesama muslim, bahkan sesama manusia.
Uniknya, bagi sebagian warga Kota Jakarta, mudik menjadi sebuah nilai wajib untuk mereka lakukan, maka tidak jarang, Kota Jakarta yang super sibuk dan macet dimana-mana, menjadi lebih lenggang dan bebas dari kemacetan bila ditinggal mudik oleh para warganya.
Tentu hal ini menjadi sebuah kenikmatan bagi mereka yang tidak mudik ke kampung halaman mereka. Karena bisa menikmati keelokan Kota Jakarta dengan santai.
Namun, kenkmatan itu tentu jauh dari mereka yang mudik ke kampung halaman masing-masing. Pasalnya, para pemudik harus berjuang keras melewati titik-titik kemacetan untuk bisa sampai ke kampung halaman mereka. Tidak jarang, para pemudik dihadapkan dengan lautan orang dan kendaraan pribadi dan kendaraan umum, baik rroda dua, roda empat, maupun lebih, yang memiliki tujuan dan arah yang sama sehingga kemacetan tidak terelakan lagi, terlebih hari-hari menjelang hari raya lebaran. Tentu butuh perjuangan keras agar bisa melewati rintangan tersebut.
Setiap orang tentu memiliki cerita masing-masing ketika pulang kampung. Pemudik yang membawa kendaraan pribadi tentu berbeda cerita dengan pemudik yang menggunakan jasa kendaraan umum. Hal ini lumrah karena rintanganya berbeda-beda.
Pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi harus bersabar dalam membawa kendaraanya, dan wajib memastikan kendaraanya aman bila harus menggunakan jasa pelabuhan untuk menyeberang antar pulau. Namun, hal itu tidak berlaku bagi para pemudik yang menggunakan kendaraan umum, mereka bisa santai turun dari kendaraan umum, dan masuk lebih cepat dari pemudik yang membawa kendaraan pribadi.
Namun, bukan berarti pemudik yang mengunakan jasa kendaraan umun bisa masuk dengan santai begitu saja. Berebut masuk antar pemudik tentu menjadi gambaran umum selama ini, satu sama lain pemudik saling berebut dan dorong-mendorong seta mendesak maju agar bisa masuk kedalam kapal.
Ironinya, terdapat anak kecil yang digendong oleh para pemudik diantara pemudik yang berdesakan masuk kedalam kapal. Pandangan tersebut tentu menyedihkan dan menyayat hati karena anak kecil yang tidak berdaya harus tergencet oleh orang dewasa.
Lain kapal, tentu lain juga dengan bus. Di terminal bus keberangkatan, cukup banyak para pemudik yang datang membawa anak kecil. Ketika bus datang diterminal keberangkatan, bisa kita lihat dari pemberitaan dimedia massa, dimana para pemudik saling berebut, meski bus belum berhenti, tidak jarang para pemudik mencegat diluar gerbang terminal keberangkatan. Ketika bus berhenti, maka aksi dorong mendorong dan berebut pun tidak terelakan, dalam hal ini, kembali anak kecil yang dibawa para pemudik menjadi salah satu korban yang tidak berdaya dari aksi gencet-menggencet.
Cukup ironi, tetapi hal itu tidak bisa dihentikan karena nilai mudik telah masuk kedalam relung jiwa sebagian besar saudara-saudara kita. Bahkan, tidak jarang, terdapat pemudik yang harus berhutang agar bisa mempunyai ongkos untuk bisa pulang kekampung halamanya..
Silahturahmi adalah salah satu kegiatan yang sangat mulia, bahkan Islam pun menganjurkan hal tersebut. Namun, bila telah dipaksakan, sepertinya harus dipikir ulang kembali. Karena pada dasarnya, pulang kampung dilakukan agar mendapat kebahagiaan karena bisa bertemu dengan keluarga yang jarang bertemu dikampung halaman.
Namun, bukan berarti hal tersebut dipaksakan karena perjalanan mudik akan lebih indah bilsa semua telah diperhitungkan tanpa dipaksakan, apalagi sampai berhutang.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar