Jakarta - Istilah susu mungkin sudah sering kita dengar. Bahkan, beberapa diantara kita menjadikan susu sebagai salah satu asupan penting dalam satu hari dalam beraktivitas. Namun, banyak juga masyarakat yang tidak asing akan susu tapi asing dalam mengkonsumsinya.
Kesadaran masyarakat akan konsumsi susu terbilang kecil di masyarakat kita, terlebih di daerah terpencil di Indonesia. Tidak jarang masyarakat di perkotaan juga masih tidak mengkonsumsi susu.
Sebenarnya kesadaran masyarakat kita akan konsumsi susu disebabkan beberapa hal, yang menjadikan susu tidak asing ditelinga masyarakat, tapi asing saat dikonsumsi.
Pertama, susu sudah dihilangkan nilai pentingya di masyarakat. Sehingga peranan susu digantikan minuman multivitamin lain
Kedua, sosialisasi kepada masyarakat mengenai peranan susu dalam diri manusia masih minim dan belum menyeluruh.
Ketiga, masyarakat kita masih sulit membeli susu dan menkonsumsi susu tersebut, terlebih banyak masyarakat kita justru mengganti susu formula untuk anak-anak mereka dengan air bekas cuci beras. Hal ini disebabkan mahalnya susu bagi anak-anak mereka saaat selesai memberikan Air Susu Ibu (ASI).
Faktor-faktor demikian menjadikan susu di Indonesia masih belum merata, baik dikonsumsi maupun mahalnya susu untuk dikonsumsi.
Karena itu, perlu ada inovasi dalam bersosialisasi dan juga kebijakan mengenai susu untuk dikonsumsi masyarakat. Soalnya, dengan adanya kebijakan dan sosialisasi yang baik, akan menopang kesadaran masyarakat akan pentingnya susu bagi kesehatan tubuh dan pertumbuhan anak.
Mahalnya harga susu didaerah terpencil, terutama bagi anak-anak dalam fase pertumbuhan juga menjadikan kebijakan pemerintah dalam pemerataan kesejahteraan masyarakat diseluruh Indonesia menjadi terbatas. Alasanya, kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan harga dan kemudahan masyarakat daerah terpinggirkan untuk memberikan susu bagi anak-anak mereka.
Susu inovasi yang sehat dan halal untuk pertumbuhan anak perlu digalakan mulai dari sekarang. Perlu ada dukungan penuh antara pemerintah, dan masyarakat dalam mensukseskan gerakan tersebut. Karena, keduanya bisa bekerjasama dalam kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi susu yang sehat bagi pertumbuhan anak.
Misalkan saja, pemerintah memberikan suntikan baik modal maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni kepada koperasi-koperasi yang ada di daerah-daerah terpinggirkan, bila tidak ada maka pemerintah bisa membangun koperasi tersebut.
Koperasi yang dimaksudkan bisa diarahkan kepada program pemberian susu yang sehat dan halal untuk pertumbuhan anak kepada masyarakat Indonesia yang berada didaerah-daerah terpencil. Bila perlu, industri lembaga keuangan, terutama perbankan, didorong agar ikut serta dalam mensukseskan program tersebut. Soalnya, perbankan memiliki likuiditas cukup dalam menyuntikan dana dalam upaya mensuseskan pemberian susu inovasi yang sehat dan halal untuk pertumbuhan anak.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang tinggi pada tahun 2011 lalu, yakni 6,5%, sebenarnya yang berperan dalam hal itu adalah SDM-SDM yang baik yang tersedia di Indonesia. SDM-SDM tersebutlah yang berjuang keras agar masyarakat Indonesia bisa mendapatkan kesejahteraan dari pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%. Bahkan, para pengamat ekonomi memperkirakan ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh di atas angka 6% pada tahun 2012, lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekonomi di negara maju.
Dalam hal ini akan diperlukan SDM-SDM yang mumpuni dalam menggerakan roda perekonomian Indonesia pada waktu mendatang. Untuk itu, diperlukan pemberian gizi yang berkualitas sedari dini kepada anak-anak yang berada pada fase pertumbuhan.
Salah satu yang bisa diupayakan adalah pemberian susu. Seperti diketahui, susu memiliki sejumlah manfaat yang mendatangkan suatu kesehatan dan pembentukan sel-sel yang berkualitas untuk membentuk fase pendewasaan seseorang. Susu tersebut secara tidak langsung akan memberikan manfaat bagi seseorang dalam masa mendatang, terutama dalam pola pikir dan fase berpikir.
Isu yang menghancurkan kesehatan mengenai susu formalin beberapa waktu lalu sayangnya mengahncurkan kembali upaya masyarakat dalam menciptakan kesadaran dalam mengkonsumsi susu. Masyarakat, pun kembali kehilangan kepercayaan mengenai susu-susu yang mereka konsumsi. Tapi, untunglah sekarang isu tersebut bisa ditangkis oleh pemerintah.
Namun, hal itu tidaklah cukup. Perlu ada upaya preventif dan masif oleh pemerintah dalam upaya melindungi masyarakat akan susu formalin dan membahayakan masyarakat, terutama anak-anak yang berada pada fase pertumbuhan.
Hal itu bisa dengan memberlakukan regulasi yang menciptakan susu yang berkualitas dan berinovasi sehat dan halal untuk pertumbuhan anak, maupun menciptakan konsep atau program meminum susu untuk kesehatan Indonesia. Sehingga, tercipta suatu kesadaran akan pentingnya susu dalam kehiduapan sehari-hari.
Apalagi, masyarakat daerah terpencil juga bisa merasakan susu yang berkualitas tinggi, tapi didapatkan dengan harga murah. Dengan demikian, Indonesia akan memiliki generasi-generasi yang berkualitas tinggi dalam intelektual dan segalanya. Sehingga Indonesia pada waktu ke depan memiliki generasi pemimpin yang bisa membawa Indonesia kepada peradaban yang lebih baik lagi
24 Juni 2012
17 Juni 2012
Papua Tidak Seperti di Media Massa
Jakarta - Timbulnya kembali masalah kekerasan di tanah Papua sepertinya tidak asing lagi ditelinga masyarakat, baik di Indonesia maupun dunia internasional. Kekerasan seakan menjadi bagian hidup masyarakat Papua yang tersandera kepentingan golongan, baik lokal maupun asing.
Kasus tertembaknya Wakil Ketua Nasional Papua Barat Mako Tabuni sontak menggoncangkan kembali bumi Papua yang tidak pernah tenang mengenai pemberitaan kekerasan. Ini menjadi pro kontra dikalangan masyarakat itu sendiri, baik masyarakat yang kritis terhadap kondisi Papua maupun masyarakat awam. Alasanya, Papua selalu terjadi kekerasan seakan tidak ada hentinya. Hingga akhirnya paradigma masyarakat menyentuh pemikiran terdapat kepentingan yang terjadi disana, dengan mengambil kesempatan dari kondisi Papua sekarang ini.
Mengapa tidak. Ini dapat dilihat dari logika umum masyarakat kita. Tentu masyarakat secara awam akan mengatakan apa fungsi dan tugas pemerintah daerah Papua, dan apa respon pemerintah pusat menanggapi masalah yang terus saja terjadi di Papua. Pun ini menjadi perdebatan yang memakan waktu. Padahal, waktu perdebatan dan pro kontra yang ada untuk tiap detiknya telah memakan korban bergelimpangan di tanah Papua.
Mari kita simpangkan sebentar fokus kepada kepentingan kesempatan dari kondisi Papua sekarang ini. Kita mengarah kepada kondisi Papua yang masyarakatnya mudah terpicu karena masalah rusaknya distribusi kesejahteraan masyarakat Papua
Secara psikologi, orang secara pribadi memiliki kebutuhan hakikat dalam dirinya, yang menjadikan kebutuhan tersebut harus dipenuhi. Bila tidak, berdampak kepada gejolak emosi dalam diri untuk menggapainya. Sebut saja beberapa diantaranya adalah makanan, minuman, tempat tinggal, dan rasa aman.
Makanan menjadi masalah utama bagi masyarakat Papua. Soalnya, Papua yang tanahnya bergelimpangan emas dimana-mana, ternyata kondisi masyarakatnya adalah miskin tanpa harta benda disekelilingnya. Bahkan, listrik pun bisa dikatakan minim bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang ada diluar Papua, salah satunya di Jakarta.
Sebagai contoh, manusia akan melakukan apa saja ketika dirinya kelaparan. Bahkan, manusia itu bisa menjadi srigala diantara srigala lainnya. Karenanya, pemerintah pusat harus bisa mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan kekayaan alam Papua sedemikian rupa, sehingga Papua bisa menghasilkan suatu hasil yang bisa digunakan Masyarakat Papua mendapatkan makanan dan kebutuhan pokoknya.
Bila pemerintah daerah tetap membangkang dan tidak memberikan kinerja optimal, maka sewajarnya pemerintah pusat memberikan tindakan tegas, bisa mengurangi jatah APBN untuk Papua, atau mengganti orang nomor 1 di Papua itu dengan orang Papua lain yang bisa menyelesaikan masalah di Papua.
Lainitu, perekonomian Indonesia yang tahun 2011 kemarin mencapai 6,5%, seharusnya bisa menjadi indikator berkurangnya kesenjangan sosial akibat status ekonomi dan perekonomian seseorang. Bahkan, perekonomian Indonesia yang tinggi harusnya bisa berhubungan erat dengan penurunan tingkat kemiskinan Indonesia.
Pun demikian, masalah kemiskinan di Indonesia tetap menjadi masalah klasik yang hingga sekarang hanya menjadi retorika para pemangku kepentingan ketika melakukan pemilihan umum saja. Hanya terjadi hubungan kecil antara pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,5% dengan penurunan tingkat kemiskinan.
Kalau saja pemerintah pusat dan daerah saling berkoordinasi dalam mengentaskan kemiskinan dan kesejahteraan diterapkan secara masif, terutama di papua, tentu gesekan keras di Papua bisa diminimalisir. Sayangnya, desentralisasi justru menghambat pemerintah pusat masuk ke daerah-daerah karena dipagari otonomi daerah.
Sebagai contoh, pemerintah pusat bisa mendorong para pelaku industri untuk membuka kantor cabang di Papua, sehingga membuka lapangan kerja bagi masyarakat Papua. Atau, bisa juga dengan mendorong industri perbankan membuka kantor cabang di Papua, sehingga mayarakat Papua bisa mengakses pendanaan yang bisa digunakan untuk meningkatkan ekonominya secara masif. Tentu pada akhirnya membuka secara luas lapangan kerja dan penurunan kekerasan.
Namun, masalah kekerasan yanng sering dihadirkan di media massa di Indonesia, baik di media cetak, elektronik, radio maupun televisi, juga seharusnya mengabarkan suatu pemberitaan yang cover both side. Soalnya, banyak dari media massa justru menyoroti pemberitaan di Papua secara berlebihan, sehingga paradigma masyarakat di setir oleh agenda seting media massa tersebut.
Sebagai contoh, penulis pernah bertemu dengan salah satu Direktur Bank yang berasal dari Papua. Dirinya mengatakan bahwa masalah kekerasan di Papua tidak seheboh yang diberitakan oleh media massa pada umumnya. Sebenarnya, kekerasan yang terjadi tidak jauh dari tindak kekerasan yang terjadi di Kota Jakarta.
Memang masalah di Papua cukup mengkahawatirkan. Tapi, menurut orang Papua itu sendiri, masalah di Papua adalah masalah kekerasan pada umumnya terjadi didaerah-daerah pada umumnya, seperti kasus perampokan yang terjadi di Kota Jakarta. Hanya saja, media massa membalut dengan sedemikian rupa sehingga Papua seakan daerah yang rawan konflik dan mengerikan. Ini seharusnya mulai dipikirkan oleh para awak media, agar memberitakan suatu pemberitaan dengan melihat dampak dari pemberitaanya tersebut.
Dan terahkir, pemerintah pusat diharapkan tidak hanya befokus kepada pertumbuhan pada kota-kota besar di Indonesia. Sudah saatnya pemerintah membuka mata dan tidak tidur dalam menjalankan roda kepemerintahan pada waktu mendatang. Saatnya pemerintah bertindak tegas kepada pemerataan kesejahteraan dan pembangunan perekonomian didaerah-daerah tertinggal, terutama Papua. Soalnya, Papua memiliki sumber daya alam yang berlimpah ruah, tapi tidak digunakan dan justru didiamkan, parahnya pemerintah hanya berdiam manakala kekayaan Papua direnggut oleh asing.
Dengan ada konsep dan implementasi berbasis nasionalis tersebut, maka masalah di Papua memang benar-benar terselesaikan dengan baik, yakni memang ada koordinasi antara pemerintah dan pusat mengenai kesejahteraan di Papua, adanya sangkut paut antara pertumbuhan perekonomian Indonesia sebesar 6,5% dengan penurunan tingkat kemiskinan, dan adanya pemberitaan dari media massa yang berimbang dengan melihat dampak pemberitaan yang ada.
Kasus tertembaknya Wakil Ketua Nasional Papua Barat Mako Tabuni sontak menggoncangkan kembali bumi Papua yang tidak pernah tenang mengenai pemberitaan kekerasan. Ini menjadi pro kontra dikalangan masyarakat itu sendiri, baik masyarakat yang kritis terhadap kondisi Papua maupun masyarakat awam. Alasanya, Papua selalu terjadi kekerasan seakan tidak ada hentinya. Hingga akhirnya paradigma masyarakat menyentuh pemikiran terdapat kepentingan yang terjadi disana, dengan mengambil kesempatan dari kondisi Papua sekarang ini.
Mengapa tidak. Ini dapat dilihat dari logika umum masyarakat kita. Tentu masyarakat secara awam akan mengatakan apa fungsi dan tugas pemerintah daerah Papua, dan apa respon pemerintah pusat menanggapi masalah yang terus saja terjadi di Papua. Pun ini menjadi perdebatan yang memakan waktu. Padahal, waktu perdebatan dan pro kontra yang ada untuk tiap detiknya telah memakan korban bergelimpangan di tanah Papua.
Mari kita simpangkan sebentar fokus kepada kepentingan kesempatan dari kondisi Papua sekarang ini. Kita mengarah kepada kondisi Papua yang masyarakatnya mudah terpicu karena masalah rusaknya distribusi kesejahteraan masyarakat Papua
Secara psikologi, orang secara pribadi memiliki kebutuhan hakikat dalam dirinya, yang menjadikan kebutuhan tersebut harus dipenuhi. Bila tidak, berdampak kepada gejolak emosi dalam diri untuk menggapainya. Sebut saja beberapa diantaranya adalah makanan, minuman, tempat tinggal, dan rasa aman.
Makanan menjadi masalah utama bagi masyarakat Papua. Soalnya, Papua yang tanahnya bergelimpangan emas dimana-mana, ternyata kondisi masyarakatnya adalah miskin tanpa harta benda disekelilingnya. Bahkan, listrik pun bisa dikatakan minim bila dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang ada diluar Papua, salah satunya di Jakarta.
Sebagai contoh, manusia akan melakukan apa saja ketika dirinya kelaparan. Bahkan, manusia itu bisa menjadi srigala diantara srigala lainnya. Karenanya, pemerintah pusat harus bisa mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan kekayaan alam Papua sedemikian rupa, sehingga Papua bisa menghasilkan suatu hasil yang bisa digunakan Masyarakat Papua mendapatkan makanan dan kebutuhan pokoknya.
Bila pemerintah daerah tetap membangkang dan tidak memberikan kinerja optimal, maka sewajarnya pemerintah pusat memberikan tindakan tegas, bisa mengurangi jatah APBN untuk Papua, atau mengganti orang nomor 1 di Papua itu dengan orang Papua lain yang bisa menyelesaikan masalah di Papua.
Lainitu, perekonomian Indonesia yang tahun 2011 kemarin mencapai 6,5%, seharusnya bisa menjadi indikator berkurangnya kesenjangan sosial akibat status ekonomi dan perekonomian seseorang. Bahkan, perekonomian Indonesia yang tinggi harusnya bisa berhubungan erat dengan penurunan tingkat kemiskinan Indonesia.
Pun demikian, masalah kemiskinan di Indonesia tetap menjadi masalah klasik yang hingga sekarang hanya menjadi retorika para pemangku kepentingan ketika melakukan pemilihan umum saja. Hanya terjadi hubungan kecil antara pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,5% dengan penurunan tingkat kemiskinan.
Kalau saja pemerintah pusat dan daerah saling berkoordinasi dalam mengentaskan kemiskinan dan kesejahteraan diterapkan secara masif, terutama di papua, tentu gesekan keras di Papua bisa diminimalisir. Sayangnya, desentralisasi justru menghambat pemerintah pusat masuk ke daerah-daerah karena dipagari otonomi daerah.
Sebagai contoh, pemerintah pusat bisa mendorong para pelaku industri untuk membuka kantor cabang di Papua, sehingga membuka lapangan kerja bagi masyarakat Papua. Atau, bisa juga dengan mendorong industri perbankan membuka kantor cabang di Papua, sehingga mayarakat Papua bisa mengakses pendanaan yang bisa digunakan untuk meningkatkan ekonominya secara masif. Tentu pada akhirnya membuka secara luas lapangan kerja dan penurunan kekerasan.
Namun, masalah kekerasan yanng sering dihadirkan di media massa di Indonesia, baik di media cetak, elektronik, radio maupun televisi, juga seharusnya mengabarkan suatu pemberitaan yang cover both side. Soalnya, banyak dari media massa justru menyoroti pemberitaan di Papua secara berlebihan, sehingga paradigma masyarakat di setir oleh agenda seting media massa tersebut.
Sebagai contoh, penulis pernah bertemu dengan salah satu Direktur Bank yang berasal dari Papua. Dirinya mengatakan bahwa masalah kekerasan di Papua tidak seheboh yang diberitakan oleh media massa pada umumnya. Sebenarnya, kekerasan yang terjadi tidak jauh dari tindak kekerasan yang terjadi di Kota Jakarta.
Memang masalah di Papua cukup mengkahawatirkan. Tapi, menurut orang Papua itu sendiri, masalah di Papua adalah masalah kekerasan pada umumnya terjadi didaerah-daerah pada umumnya, seperti kasus perampokan yang terjadi di Kota Jakarta. Hanya saja, media massa membalut dengan sedemikian rupa sehingga Papua seakan daerah yang rawan konflik dan mengerikan. Ini seharusnya mulai dipikirkan oleh para awak media, agar memberitakan suatu pemberitaan dengan melihat dampak dari pemberitaanya tersebut.
Dan terahkir, pemerintah pusat diharapkan tidak hanya befokus kepada pertumbuhan pada kota-kota besar di Indonesia. Sudah saatnya pemerintah membuka mata dan tidak tidur dalam menjalankan roda kepemerintahan pada waktu mendatang. Saatnya pemerintah bertindak tegas kepada pemerataan kesejahteraan dan pembangunan perekonomian didaerah-daerah tertinggal, terutama Papua. Soalnya, Papua memiliki sumber daya alam yang berlimpah ruah, tapi tidak digunakan dan justru didiamkan, parahnya pemerintah hanya berdiam manakala kekayaan Papua direnggut oleh asing.
Dengan ada konsep dan implementasi berbasis nasionalis tersebut, maka masalah di Papua memang benar-benar terselesaikan dengan baik, yakni memang ada koordinasi antara pemerintah dan pusat mengenai kesejahteraan di Papua, adanya sangkut paut antara pertumbuhan perekonomian Indonesia sebesar 6,5% dengan penurunan tingkat kemiskinan, dan adanya pemberitaan dari media massa yang berimbang dengan melihat dampak pemberitaan yang ada.
Langganan:
Postingan (Atom)